Selamat Datang MTs. Mambaul Ulum Bata-Bata

PENTINGNYA PENDIDIKAN BERBASIS MORAL “Menyikapi Merebaknya Kasus Video Mesum Mirip Ariel Peterpan, Luna Maya dan Cut Tari”

Oleh: Ach. Ruslan Dimyathi, S.Pd.I*
(*Kepala MTs. Mambaul Ulum Bata-Bata)

Video Porno kembali menggemparkan bangsa Indonesia. Setelah terkuaknya video mesum mirip Artis papan atas Luna Maya, Ariel Peterpan dan Cut Tari. Video berdurasi 2 menit, 9 menit dan 8 menit tersebut, menggambarkan sepasang manusia lain jenis yang sedang melakukan kegiatan layaknya pasangan suami-istri. Dari hasil penelitian IT berdasarkan pantauan satelit hampir 250 juta HP di Indonesia telah berisi video mesum MIRIP ARTIS TERNAMA tersebut. Bahkan dari hasil sidak yang dilakukan oleh Pemertintah Daerah, razia di sekolah-sekolah ditemukan ribuan HP siswa berisi video-video mesum.
Beredarnya video porno tersebut seakan menambah deretan persoalan pendidikan di Indonesia. Setelah sebelumnya ditemukan video-video mesum yang pemerannya rata-rata masih anak-anak usia sekolah. Pendidikan Indonesia belum mampu menjadi pioner dalam menyelesaikan persoalan moralitas bangsa. Pendidikan di Indonesia hanya berorientasi kepada materi dan hasil. Pendidikan Indonesia belum mampu menyentuh persoalan riil yang dialami oleh masyarakat.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana mengajarkan pendidikan yang mampu menjadikan peserta didik mandiri, bertanggung jawab, dan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat ?
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU. Sisdiknas) 2003 Pasal 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara
Pendidikan mencakup masalah bagaimana mengembangkan anak didik sebagai manusia individu sekaligus warga masyarakat (Sumaji, dkk: 1998). Tujuan pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Darmaningtyas: 2004)
Dengan demikian, pendidikan pada dasarnya adalah usaha nyata dalam membentuk moralitas anak didik menjadi generasi bangsa yang tangguh. Generasi bangsa yang tangguh adalah manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia (bermoral). Maka dari itu, pendidikan sebagai elemen pencerahan bangsa harus dapat memposisikan dirinya mendorong terwujudnya pendidikan berbasis moral.
Pendidikan berbasis moral akan sangat berguna bagi peserta didik dalam mengembangkan diri dan bergaul dengan masyarakat. Moral adalah bekal di dalam mengembangkan diri. Hal itu dikarenakan, ketika moral telah di dalam diri manusia akan dapat mempertanggungjawabkan segala aktivitasnya terhadap dirinya sendiri, orang lain, dan utamanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Masalah moral, adalah suatu masalah yang menjadi perhatian manusia di mana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju, maupun dalam masyarakat yang masih terbelakang. Hal itu dikarenakan, kerusakan moral seseorang mengganggu ketentraman yang lain. Jika dalam suatu masyarakat banyak orang yang rusak moralnya, maka akan guncanglah keadaan masyarakat itu.
Mochtar Bukhori mendefinisikan pendidikan moral sebagai to guide the young towards voluntary personal commitment to values (pekerjaan membimbing generasi muda untuk secara sukarela mengikat diri kepada norma-norma atau nilai-nilai. Diharapkan, pendidikan moral akan membentuk kapasitas intelektual (intellectual resources) generasi muda yang memungkinkan mereka untuk membuat keputusan bertanggung jawab (informed and responsible judgment) atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan.
Jadi, orientasi pendidikan moral yakni pengikat diri, dengan nilai-nilai, harus terjadi secara sukarela, harus tumbuh dari dalam dan bukan karena ancaman atau ketakutan akan sesuatu. Maka, peran penting orang tua dan pendidik (guru) sangat diharapkan. Orang tua mendorong anak-anaknya untuk mandiri dan mampu bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.
Kepedulian orang tua dalam mendidik putra-putrinya menjadi kata kunci. Menyediakan waktu untuk sekadar bersendau gurau, bermain dan berempati terhadap apa yang dialami putra-putrinya, dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk mandiri dan bertanggung jawab.
Saling tegur sapa dalam keluarga akan mendorong peserta didik untuk terus belajar. Ketidak pedulian orang tua terhadap anak-anaknya merupakan persoalan yang mengancam eksistensi anak. Hal itu dikarenakan, menurut Elie Wiesel, kejahatan terbesar di dunia bukanlah kemarahan atau kebencian, melainkan kemasabodohan.
Ketika suasana didalam keluarga sudah mendukung, kondisi di sekolahan pun juga harus demikian. Guru bukanlah monster yang menakutkan. Guru harus menjadi sahabat peserta didiknya. Jadi ada keterbukaan antara peserta didik dan gurunya. Keterbukaan itu akan menimbulkan suasana belajar yang menyenangkan. Peserta didik dapat menyampaikan keluh kesah dan berbagi pengalaman dengan gurunya, dan atau sebaliknya.
Dengan demikian, peserta didik akan malu melakukan kesalahan atau melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Ia akan sadar, bahwa melakukan perbuatan melanggar norma akan merusak citra keluarga, sekolah, dan dirinya sendiri. Kesadaran yang tumbuh dari jiwa yang disemai dengan kasih sayang itulah, cikal bakal generasi terdidik harapan bangsa.
Kasus merebaknya video porno yang dilakukan oleh peserta didik, serta video mirip artis papan atas tsb yan telah di tonton oleh sebagian besar masyarakat Indonesia tak terkecuali anak-anak, pada dasarnya adalah cerminan ketidakpedulian orang tua, guru, dan masyarakat terhadap perkembangan generasi muda bangsa. Mereka dibiarkan tumbuh kembang tanpa belaian kasih sayang dan perhatian. Ketika mereka melakukan kesalahan, orang tua selalu menyalahkan tanpa merenung mengapa hal itu bisa terjadi. Anak-anak menjadi pihak yang selalu disalahkan.
Pada akhirnya, kepedulian semua pihak untuk mendidik generasi muda penerus bangsa menjadi kata kunci dalam menyelesaikan dan mencegah kasus tersebut terulang kembali.

Kurikulum Berbasis Moral
Pendidikan tidak cukup diajarkan dalam bentuk kurikulum. Lebih dari itu, pendidikan harus dapat menanamkan nilai-nilai kemuliaan. Internalisasi nilai-nilai itu dapat dibangun melalui budaya sekolah.
Menurut Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh :
"Kita ingin membuat gerakan baru, gerakan nasional untuk membuat kesadaran kolektif tentang pentingnya pendidikan moral, jati diri, karakter, budaya, akhlak mulia, dan kita harapkan Presiden sendiri yang akan mendeclare," kata Mendiknas.
Mendiknas mengatakan, untuk membangun budaya sekolah dimulai dari kebiasaan yang kemudian membentuk tradisi. Dari tradisi akan terbentuk budaya yang akhirnya membentuk peradaban. Mendiknas mencontohkan, kebiasaan dapat dalam bentuk berperilaku baik aktif maupun pasif seperti ungkapan guru, berkawan, tata letak ruang kelas atau kamar mandi, dan membuang sampah.
Jadi konkritnya tidak cukup hanya diajarkan saja, karena yang namanya perilaku itu adalah fungsi keteladanan. Jadi keteladanan yang dikembangkan di sekolah, itu yang menjadi kata kunci," ujarnya.
Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Mandikdasmen) Kemendiknas Suyanto mengatakan, kepribadian yang terbentuk dalam budaya sekolah termasuk kurikulum tidak tertulis. Namun, kata dia, hal ini memberikan dampak terhadap pembentukan perilaku keteladanan. "Kalau guru menyayangi anak-anak maka anak-anak tumbuh kasih sayang terhadap sesama. Tentu, budi pekerti ada dan bisa secara kurikuler. Bisa masuk dalam pilar kurikulum kewarganegaraan dan kepribadian, akhlak mulia dan ketakwaan," katanya.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendiknas Mansyur Ramli mengatakan, dalam konsep kurikulum dikenal konsep pengembangan kepribadian diri yang masuk dalam pembentukan budaya sekolah. "Jadi tidak dalam mata pelajaran. Jadi membentuk lingkungan di sekolah," katanya.
Mansyur menyebutkan, ada dua ukuran evaluasi. Pertama, kata dia, evaluasi diukur dengan memberikan nilai tertentu. Evaluasi kedua, lanjut dia, yaitu melalui penilaian guru dalam melihat perkembangan anak. "Jadi bukan dinilai sesaat seperti ujian-ujian tertulis, tetapi perkembangan anak itu dilihat bagaimana kerja samanya, kasih sayangnya, hormat terhadap guru, menjaga lingkungan, dan sebagainya," ujarnya. Wallahu a’lam
Share this post :

1 komentar:

Komentar Anda

FansPage

Arsip Blog

Statistik Blog

Pengikut

Popular Post

 
Support : MTsMUBA | DownloadRPP | Bata-bata.net
Copyright © 2015. MTs. MAMBAUL ULUM BATA-BATA - All Rights Reserved
Template by OPMMUBA